وَأَجْعَلُ ثُلُثَهُ فِي الْمَسَاكِينَ وَالْسَائِلِيْنَ وَابْنَ السَّبِيْلِ
مَنْ تَصَدَّقَ بِعَدْلِ تَمْرَةٍ مِنْ كَسْبٍ طَيِّبٍ وَلَا يَقْبَلُ اللَّهُ إِلَّا الطَّيِّبَ وَإِنَّ اللَّهَ يَتَقَبَّلُهَا بِيَمِينِهِ ثُمَّ يُرَبِّيهَا لِصَاحِبِهِ كَمَا يُرَبِّي أَحَدُكُمْ فَلُوَّهُ حَتَّى تَكُونَ مِثْلَ الْجَبَلِ
Ada banyak sekali ayat dan hadits yang menyebutkan dalil tentang sedekah. Berikut ini penulis sebutkan sebagiannya.
Pendekatan absolutisme alkitabiah dan relativisme budaya menegaskan adanya gangguan supernatural yang melibatkan tindakan dan ajaran. Bahkan seperti Kristus, melalui inkarnasi, menjadi daging dan tinggal di antara kita, demikian juga ajaran atau kebenaran menjadi terwujud dalam budaya. Bagaimana pun, seperti halnya firman membuat daging tidak kehilangan keilahian-Nya, demikian juga ajaran tidak kehilangan kebenarannya melalui perwujudannya dalam bentuk sosial budaya manusia.
وأما البخيل : فلا يريد أن ينفق شيئا إلا لزقت كل حلقة مكانها ، فهو يوسعها ولا تتسع
Serangan depresi, misalnya seorang tenggelam dalam suatu kesedihan tanpa alasan. Orang berada di bawah tekanan dicekam oleh perasaan takut terhadap hal-hal sekitarnya.
Infak sebagai ibadah sosial memiliki cakupan yang luas, Bahkan sedekah dan zakat termasuk dalam bagian infak.
) dan yang satunya lagi bekerja, maka saudaranya yang bekerja mengadukan perihal Berinfak saudaranya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau menjawab
, maka sungguh Allah akan menerimanya dengan tangan kanan-Nya lalu mengasuhnya untuk pemiliknya sebagaimana jika seorang dari kalian mengasuh anak kudanya hingga membesar seperti gunung
مَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِي حَاجَتِهِ، وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً، فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ يَوْمِ القِيَامَةِ
Berusaha mengumpulkan harta sehingga tersisa dari kebutuhannya untuk disedekahkan adalah sangat baik bagi ahli sedekah, jika ia memiliki kemampuan dalam hal itu.
menyebutkan sebuah hadits tentang tujuh golongan yang mendapatkan naungan di hari kiamat. Salah satu golongan yang beliau sebutkan adalah,
Pertanyaan yang biasanya muncul adalah norma atau cara hidup mana yang benar. Masalah itu diselesaikan dengan lebih dulu mengajukan pertanyaan-pertanyaan lintas budaya seperti berikut ini.
مَنْ تَصَدَّقَ بِعَدْلِ تَمْرَةٍ مِنْ كَسْبٍ طَيِّبٍ، وَلَا يَقْبَلُ اللَّهُ إِلَّا الطَّيِّبَ، وَإِنَّ اللَّهَ يَتَقَبَّلُهَا بِيَمِينِهِ، ثُمَّ يُرَبِّيهَا لِصَاحِبِهِ، كَمَا يُرَبِّي أَحَدُكُمْ فَلُوَّهُ، حَتَّى تَكُونَ مِثْلَ الجَبَلِ